Rabu, 29 April 2009

Jadilah Sahabat Bumi

Satu hal yang terkadang melintas satu pertanyaan, sebenernya apa sih yang dicari manusia? Ketika hamparan hijau, kicau burung dan semilir angin yang segar, pohon2 senantiasa berbuah dan menjulang tinggi masih tersedia dimana2 dan lingkungan yang sehat masih tersedia, dengan perlahan dan bertambah cepat berganti dengan perumahan , industri dan simbol2 modern lain yang pastinya tidak mau dikatakan sebagai “pengerusakan lingkungan”. Bahkan itu terjadi hampir di setiap belahan bumi. Dengan berlalu masa yang cukup panjang secara perlahan dampak2 yang tidak menguntungkan mulai dirasakan dan mulai terasa puncak akibat pengerusakan, Negara2 maju yang lebih awal melakukan perusakan lingkungan tentu wajar juga yang pertama menyerukan perlunya “ramah lingkungan”, lumayanlah namanya negara maju, titik balik dari “musuh bumi” menjadi “sahabat bumi” cukup enak dilihat. Dan kembali negara berkembang konyol di tengah!. Menikmati hasil merusak lingkungan kayaknya belum kenyang udah harus ikut “arus kuat” menjadi shabat bumi lagi, ibarat pertemanan jadinya nanggung mau nerusin ngrusak ga bisa, mau jadi sahabat lagi agak canggung, tapi sekali lagi tetep ungkapan “masih untung’ tetep berlaku, artinya walau nanggung tapi kebaikan tetep baik.
Terus pertanyaan diatas kalo dilanjutkan begini, kalau dihitung2 pada awalnya (lingkungan) sudah baik dirusak kemudian diperbaiki lha tujuan manusia itu apa? Kalo dikatakan bodoh pastinya ga mau, dan kalo dilihat juga memang bukan orang bodoh. Kalo pinter, masak orang pinter melakukan seperti diatas?.
Tentusaja hampir setiap orang punya alasan2 berbuat sesuatu, termasuk yang berhubungan dengan lingkungan seperti diatas, tapi perlu diingat juga, setiap yang menentang pasti juga punya alasan yang hampir sama kuat, yang kalo ditotal tetep intinya juga “Barang bagus dirusak terus diperbaiki”. Kalo mau diperpanjang dikit ato dirubah pertanyaanya menjadi “Apakah kemajuan itu harus merusak lingkungan?” Kalo jawabanya “Ya” lha ngapain sekarang gencar kampanye “Hijau” “sahabat Bumi” dll, apakah tidak sama dengan mundur?. Kalo jawabanya “Tidak” lha mengapa dulu harus ngrusak? Mengapa pertimbangan lingkungan ga pernah masuk daftar?.
Mengapa sampai orang (kebanyakan orang) merusak? Apakah mereka tak berilmu tak beragama? Mengapa Ilmu pengetahuan dan Agama seolah tak mampu mempengaruhi setiap keputusan yang diambil?
Mungkin saja masalahnya ilmu dan agama yang ada belum bisa menimbulkan kesadaran! Dan kesalahan hampir pasti terletak pada penyikapan kita terhadap ilmu dan agama yang kita peroleh belum pada proporsi yang semestinya sehingga tidak mampu membangkitkan kesadaran, kesadaran apa saja akan mampu dibangkitakn manakala sebuah pertanyaan sederhana dimunculkan: “Apa tujuan saya diciptakan?” tentu jawabannya pasti ada . Manusia saja menciptakan negara pasti membuat hak dan kewajiban yang mengandung penghargaan dan sanksi, mungkinkah kita diciptakan seolah tanpa beban kewajiban?, hal ini saja jika kita renungkan sejenak dengan pikiran yang tenang dan sedikit ketulusan akan membuat kita terhenyak, seolah kita melupakan sesuatu yang sangat logis. Dan kalau terus menerus pertanyaan diatas kita kembangkan sendiri akan muncul jawaban2 yang menuntun kita kearah yang lebih baik…maka itulah bibit kesadaran mulai muncul, manakala kesadaran itu muncul, bukan saja Bumi kita jadikan sahabat tetapi Bumi adalah bagian dari diri kita sendiri, dimana setiap hal yang tak baik akan tersentuh nurani kita (minimal) akan muncul perasaan tidak tega, tanpa menunggu kampanye dan peraturan otomatis Bumi (minimal sekitar kita) akan terjaga, jika kesadaran secara kolektif dibangkitkan oleh Negara melalui peraturan2 yang tetap mengacu pada kesadaran, maka hamparan hijau, kicau burung, dan segarnya udara tak mustahil akan menjadi bagian kita lagi……..semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar